Sabtu, Januari 31, 2009

EKSISKAH NEGARA KITA,INDONESIA?

Negara Indonesia: Benarkah Ia Eksis? (1)

TERLETAK di antara dua benua: Asia dan Australia, dan dua samudra yakni Hindia dan Pasifik. Demikianlah kita menunjuk wilayah itu saat ditanyakan di mana “negara Indonesia” berada. Secara umum diketahui atau “diakui” Indonesia terbentuk sebagai suatu negara setelah memperoleh kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, walau sebagian pakar mengatakan negara Indonesia lahir pada tanggal 18 Agustus esok harinya. Hal ini didasarkan pada peristiwa pengesahaan UUD dan penetapan pimpinan negara, yaitu presiden dan wakil presiden republik Indonesia pertama. Menilik referensi lainnya, Indonesia justru baru dianggap sebagai negara ketika mendapat pengakuan kedaulatan pertama dari Mesir pada bulan Juni 1947. Melihat perjalanan sejarah dari masa-masa awal itu hingga sekarang, terbetik sebuah pertanyaan, benarkah negara Indonesia itu ada? Bila memang ada atau pernah ada, kapan dia benar-benar eksis dan menunjukan dirinya sebagai sebuah negara? Bila tidak atau belum ada, apa yang perlu dilakukan agar Indonesia dapat berdiri sebagai layaknya sebuah negara?
Secara umum melalui pelajaran ilmu politik, masyarakat memahami bahwa setidaknya ada 4 kriteria pembentuk negara. Keempat unsur yang harus dimiliki sebuah negara adalah adanya wilayah, rakyat, pemerintah, dan pengakuan kedaulatan. Ketika keempat faktor itu terpenuhi oleh Indonesia, maka sebutan sebagai “negara Indonesia” boleh disandang dengan bangga. Namun betapa sederhananya sebuah negara jika kita harus berhenti pada aturan kriteria seperti itu. Betapa naifnya kehidupan bernegara, dan amat tidak pentingnya negara itu bagi manusia jika hanya melihat keempat elemen itu semata. Ketika sebuah negara hanya menyandarkan diri pada teori “kuno” itu untuk melegitimasi dirinya sebagai negara, maka amat wajar bila masyarakatnya lesuh darah untuk mengikatkan diri pada negara itu.
Pemberontakan dan keinginan melepaskan diri dari berbagai daerah di Indonesia dari awal berdirinya negara hingga hari ini menjadi contoh kongkrit dari asumsi tersebut. Setiap kelompok masyarakat, betapapun kecilnya jumlah populasinya, dapat saja membentuk sebuah negara. Syaratnya sangat mudah, ada wilayah yang mereka diami saat ini, ada anggota komunitasnya sebagai “calon rakyat”, ada pemimpin-pemimpin kelompoknya yang bisa menjelma menjadi pemerintah, dan tinggal menggalang lobi di tingkat dunia untuk mendapatkan pengakuan – walaupun ini bukan perkara mudah. Indonesia saat ini kemungkinan bisa dikategorikan masih pada tahap “negara sederhana” model ini: punya wilayah, rakyat, pemerintah, dan diakui negara lain.
Dari keempat kriteria inipun sesungguhnya banyak orang ragu, apakah memang hal itu terpenuhi oleh Indonesia? Ketika sebuah negara mengklaim bahwa suatu wilayah adalah daerah teritorialnya, maka tentu saja tidak seorangpun dari luar teritori itu yang boleh dan dibiarkan memasukinya tanpa izin. Kenyataannya, beberapa pulau jadi hunian warga negeri jiran, pengambilan kekayaan laut dengan leluasa dilakukan di wilayah perairan perbatasan, baik bersifat pencurian maupun yang mendapat “izin” aparat. Kegiatan penambangan pasir ilegal di perairan kepualauan Riau adalah contoh real. Kemampuan Indonesia untuk menguasai, menjaga dan mengelola wilayahnya masih amat lemah. Hal tersebut mengesankan kekaburan kepemilikan wilayah atau lebih jauh bisa diartikan kepemilikan semu terhadap daerah teritorial itu. Belum lagi bila kita menghitung kemampuan negara menjaga dan mengelola wilayah udaranya.
Kepemilikan wilayah sesungguhnya tidak semata mengetahui batas-batas teritorial. Tetapi ini mengandung makna pengelolaan atas wilayah itu secara efisien dan efektif sebagai implikasi kepemilikan atasnya. Segala upaya harus dilakukan demi menjaga, merawat, mengelola, memanfaatkan, hingga kepada proses transfer kepemilikan wilayah ini dari generasi sekarang ke generasi beriktunya. Kemiskinan dan ketiadaan anggaran negara yang cukup tidaklah pantas menjadi alasan untuk menghidari tanggung jawab terhadap pengelolaan kewilayahan. Daerah luas yang dimiliki itu sendiri adalah kekayaan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengelola wilayah, tidak selayaknya menjadi beban bagi sebuah negara yang benar-benar menganggap dirinya “negara”. Bila tidak sanggup mengelolanya, mudah saja, biarkan orang lain yang menguasai untuk kemakmuran manusia yang ada di atasnya. Biarkan mereka mendirikan sejatinya sebuah negara di atas wilayah nusantara itu.
Tidak kurang dari 238 juta orang mendiami wilayah kepulauan nusantara saat ini. Mereka itulah yang diklaim sebagai rakyat dari sebuah negara bernama Indonesia. Dalam keberagaman budaya, adat-istiadat, pandangan hidup, dan latar belakang, mereka menyatukan hati untuk tunduk menjadi rakyat Indonesia. Suatu hal yang baik dan memang begitulah semestinya. Namun pertanyaan muncul, cukupkah ketundukan itu menjadi dasar legitimasi untuk mengatakan mereka sebagai rakyat Indonesia dalam kerangka persyaratan kelengkapan unsur sebagai negara? Jawabannya bisa: “ya”. Tetapi ketika ketundukan itu merupakan keterpaksaan, maka sesungguhnya kepemilikan rakyat menjadi bias, karena secara hakiki dalam prinsip kedaulatan rakyat, otoritas untuk menentukan seseorang menjadi rakyat (catatan: bukan warga negara) dari suatu negara adalah individu masing-masing.
Meminjam teorinya Immanuel Kant, dia beranggapan bahwa rakyat adalah sekumpulan manusia. Dalam setiap kebijakan yang berkenaan dengan perlakuan atas manusia, tidak dibenarkan untuk memperlakukan masusia semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan atau kebahagiaan pihak lain. Berdasarkan teori ini, ketika manusia Indonesia hanya didudukan sebagai rakyat untuk semata-mata memenuhi ketentuan “menjadi negara” maka Indonesia sudah salah kaprah mengartikan terminologi “rakyat”. Manusia Indonesia hanya “alat” untuk mencapai tujuan Indonesia menjadi “negara”. Dengan demikian, klaim legitimasi Indonesia atas rakyat Indonesia sesungguhnya menjadi kabur.
Begitu banyak penduduk Indonesia yang tersia-siakan oleh negara selama ini. Kemiskinan, kelaparan, minimnya pelayanan kesehatan, ketiadaan sarana hidup layak sebagai manusia, pendidikan yang tidak terjangkau, adalah diantara berbagai persoalan yang mengakibatkan rasa frustasi di mana-mana. Pada kondisi ini, ketundukan rakyat pada negara sangat diragukan. Yang ada adalah “ketiadaan pilihan lain”, mereka terpaksa jadi rakyat Indonesia. Bila saja mereka cukup kuat untuk mengakses berbagai pilihan, maka alternatif jadi rakyat Indonesia kemungkinan akan dihilangkan dari pilihan mereka. Pergolakan-pergolakan yang terjadi di mana-mana tempat sepanjang masa adalah contoh kasus yang membuktikan pendapat ini. Pada waktunya nanti, saat negara benar-benar gagal mengelola kehidupan masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih baik, maka akan sangat mungkin pengakuan menjadi rakyat Indonesia akan dicabut oleh masyarakat di nusantara untuk kemudian menyerahkannya kepada kekuatan baru yang lebih meperhatikan mereka.
Pemerintahan dengan segala strukturnya boleh jadi secara kasat mata merupakan indikator kuat bahwa memang ada negara Indonesia. Dari level kepemimpinan pusat hingga ke daerah terlihat berjalan secara rapi dan teratur. Namun ketika kita meneliti secara seksama, benarkah pemerintahan Indonesia dilakukan sepenuhnya oleh presiden republik Indonesia dan jajarannya. Teramat banyak sudah tulisan, artikel, dan paparan para analis yang menunjukan bahwa pemerintahan Indonesia hanya lebih sedikit dari jenis “pemerintahan boneka” kekuatan-kekuatan luar.
Sejak berakhirnya pemerintahan Sukarno, maka kepemimpinan Indonesia praktis hanya perpanjangan tangan negara-negara kuat di Eropa dan Amerika. Naiknya Suharto di tahun 1967an hingga kejatuhannya merupakan era konsolidasi pengendalian “negara boneka” Indonesia oleh Barat. Berlanjut seterusnya ke pemerintahan yang silih berganti hingga kepada kepemimpinan presiden SBY saat ini. Banyak orang akan menunjuk pada persoalan penguasaan potensi eksplorasi kekayaan alam Indonesia menjadi alasan utama bagi kekuatan asing mengendalikan pemerintahan Indonesia. Jadilah Indonesia sekedar “negara mainan” bagi institusi keuangan international, seperti bank dunia, IMF, dan sebagainya yang tidak lain adalah badan usaha negara-negara kapitalis dunia. Selama Indonesia tidak berhasil keluar dari tali kekang anasir-anasir asing itu, maka sesungguhnya Indonesia belum boleh berbangga mengklaim diri sebagai sebuah negara.
Terakhir, faktor pengakuan kedaulatan dari negara lain terhadap Indonesia. Tidak disangsikan bahwa keberadaan kedutaan dan perwakilan diplomatik Indonesia di hampir semua negara di dunia, menjadi pertanda bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang diakui kedaulatannya oleh negara lain. Tetapi ketika masyarakat, perusahaan, dan bahkan pemerintah dari sebagian negara dunia memperlakukan warga Indonesia dengan tidak manusiawi di negeri mereka, bukankah itu merupakan contoh “memandang remeh” atas keberadaan Indonesia sebagai negara berdaulat? Lagi, menggunakan fenomena “negara mainan” yang diuraikan pada alinea terdahulu, maka kedaulatan apa sesungguhnya yang diakui dunia pada Indonesia? Pengakuan itu terkesan tidak lebih dari pengakuan semu belaka. Indonesia hampir pada keadaan antara ada dan tiada.
Sampai pada titik ini, keraguan kepada eksistensi Indonesia sebagai negara menjadi sangat kental. Karena kenyataannya, empat unsur persyaratan umum berdirinya negara belum dapat dikatakan terpenuhi dengan baik dan memadai. Untuk itu perlu ada usaha yang serius bagi penguatan keberadaan diri sebagai negara yang benar-benar ada dan dihormati dunia. Menurut Matt Rosenberg, setidaknya ada 8 kriteria persyaratan minimal untuk diakui sebagai negara sejati. Kedelapan elemen itu akan diuraikan pada tulisan berikutnya di bagian 02.***
CATATAN: Artikel ini termuat di www.kabarindonesia.com

roni_justicia

HUKUM KEPAILITAN

5- / -0 / 2004 : 19: 1
KEPAILITAN DI INDONESIA (PENGANTAR)

Oleh; Imran Nating, SH., MH. [1]

Pendahuluan
Dipailitkannya Prudential beberapa saat yang lalu membawa kabar buruk bagi para pemegang polis asuransi perusahaan tersebut. Hal yang sama bahkan lebih tragis lagi dirasakan oleh pemilik dan tentunya karyawan Prudential. Masyarakat (karyawan dan pemegang polis)dan pengamat sekalipun, juga heran. Keheranan mereka berdasar pada satu tolok ukur yang kasat mata, bahwa Prudential berada dalam kondisi keuangan yang sehat, dan yang lainnya, bahwa hutang Prudential tidak sebanding dengan harta kekayaan Prudential yang demikian besarnya.
Tulisan ini nermaksud memberikan gambaran secara sederhana tentang kepailitan.

Apa itu Pailit
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. [2]
Dalam hal seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tidak membayar utangnya dengan suka rela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Sebaliknya dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.
Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan di atas [3]
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar. [4] Dalam perkembangannya kemudian, Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan untuk melindungi debitur dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.
Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. [5]
Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri. [6]
Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. [7] Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Sistem yang dipergunakan dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan adalah tidak melakukan perubahan secara total, tetapi hanya mengubah pasal-pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan baru ke dalam undang-undang yang sudah ada. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut meliputi antara lain: [8] Pertama, penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk didalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit. Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusa pernyataan pailit. Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan. Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan hasil revisi dikatakan bahwa untuk setiap putusan pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat diajukan hanyalah kasasi ke Mahkamah Agung. Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak kreditur dengan hak preferens, yang memegang hak tanggungan, hipotik, gadai atau agunan lainnya. Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam BAB KEDUA Undang-Undang Kepailitan sebagaimana telah diubah. Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini disebut dengan pengadilan niaga, dengan hakim-hakim yang juga akan bertugas secara khusus.

Tujuan Kepailitan
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. [9] Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu: [10]
Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut: [11]
Bahwa kekayaan debitur (pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (pasal 1132) secara proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).

Syarat Kepailitan
Dalam undang-undang kepailitan, persyaratan untuk dapat dipailitkan sungguh sangat sederhana. Pasal 1 ayat (1) UUK, menentukan bahwa yang dapat dipailitkan adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Dari paparan di atas, maka telah jelas, bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi dua syarat yaitu:
1. 1. Memiliki minimal dua kreditur;
2. 2. Tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Kreditur yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan kreditur, tanpa melihat jumlah piutangnya.

Begitu Mudah Dipailitkan
Undang-Undang Kepailitan kita, sekali lagi memang sangat mempermudah proses kepailitan. Sebagai contoh, Pasal 6 ayat (3) UUK menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi.
Bunyi pasal di atas dengan tegas menyatakan bahwa Hakim harus mengabulkan, bukan dapat mengabulkan, jika telah terbukti secara sederhana. Yang dimaksud terbukti secara sederhana adalah kreditur dapat membuktikan bahwa debitur berutang kepadanya, dan belum dibayarkan oleh debitur kepadanya padahal telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kemudian kreditur tersebut dapat membuktikan di depan pengadilan, bahwa debitur mempunyai kreditur lain selain dirinya. Jika menurut hakim apa yang disampaikan kreditur atau kuasanya benar, tanpa melihat besar kecilnya jumlah tagihan kreditur, maka hakim harus mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditur tersebut.

Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.
Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator.
Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).

Siapa yang Mempailitkan Siapa
Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat, sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.
Jika kita melihat kasus Prudential dan Manulife, maka telah nyata bagi semua kalangan, bahwa perusahaan asuransi pun melibatkan uang masyarakat banyak, sehingga seharusnya UUK mengatur bahwa Perusahaan Asuransi pun harus hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, dalam hal ini Departemen Keuangan.
Kejaksaaan juga dapat mengajukan permohonan pailit yang permohonannya didasarkan untuk kepentingan umum.

Penutup
Tulisan ini hanya mencoba memberi gambaran sederhana mengenai proses kepailitan di Indonesia. Apa yang penulis sampaikan di atas sungguh masih sangat tidak lengkap menyampaikan informasi tentang kepailitan.
Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam proses kepailitan akan penulis sampaikan dalam artikel yang lain.

roni_justicia

Selasa, Januari 27, 2009

DEKONSTRUKSI PRAGMATISME

DEKONSTRUKSI PRAGMATISME*
Oleh : Muhammad Shiddiq Al Jawi**
__________________________________________________________________
ABSTRAK
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan prak¬tis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.Kedua, Pragmatisme menafi¬kan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan ak¬tivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif.Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada selur¬uh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
_______________________________________________________________________________
1. Pengantar
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupa¬kan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengata¬kan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpi¬kir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialis¬me maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berba¬haya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia– sebagaimana akan diterangkan nanti.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat menge¬lak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan pera¬daban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.
2. Hakikat Pragmatisme
Deskripsi mengenai Pragmatisme akan diawali dengan penjelasan ringkas tentang sejar¬ah mata rantai pemikiran Barat, agar diperoleh gambaran komprehensif tentang posisi Pragma¬tisme dalam konstelasi pemikiran Barat.
a. Asal Usul Pragmatisme
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebu¬dayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inder¬awi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang meno¬njol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.
Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Juga Fran¬cis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduk¬tif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahan¬kan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian inter¬pretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembaha¬sannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikem¬bangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.
Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idea¬lisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandan¬gan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Posi¬tivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terha¬dap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuer¬bach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendati¬pun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatis¬me yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragma¬tisme akan diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya pada poin b berikut.
b. Arti Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekan¬kan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan Wil¬liam James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkem¬bangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.
James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpi¬kir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mende¬duksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular.
Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradi¬sional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini –yang juga disebut Practicalisme– , sebe¬narnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi. Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernya¬taan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psi¬kologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembang¬kan suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. Merasakan adanya masalah.
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
3. Kritik Terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
a. Kritik dari Segi Landasan Ideologi
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehi¬dupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V - XV M), yakni keharusan menun¬dukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterika¬tannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa.
Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemi¬kiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.
Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang eksistensi Al Khaliq atau pembahasan mengenai peraturan yang ditetapkan Al Khaliq untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.
Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil –termasuk dalam hal ini Pragmatisme– pada hakekatnya adalah batil juga.
b. Kritik dari Segi Metode Berpikir
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial. Ini adalah suatu kekeliruan.
Metode Ilmiah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serang¬kaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah/Rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiah. Sebab, Metode Ilmiah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiah, atau dengan kata lain Metode Ilmiah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point :
a. Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiah.
b. Bahwa Metode Ilmiah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/materi¬al yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
c. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan prak¬tis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisn¬ya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasi¬lan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan prak¬tis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuas¬kannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifika¬si instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengu¬jian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
4. Kontradiksi Pragmatisme Dengan Islam
Jelas sekali bahwa Pragmatisme –sebagai standar ide dan perbuatan– sangat bertentan¬gan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis.
Allah SWT berfirman :
“Berilah keputusan di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah” (Al Maaidah : 4
Syaikh An Nabhani menjelaskan ayat ini dalam Muqaddimah Dustur, bahwa ukuran perbuatan adalah apa yang diturunkan oleh Allah, bukan konsekuensi-konsekuesi yang dihasil¬kan dari aktivitas-aktivitas manusia.
Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya, yaitu Syari’at Islam. Allah SWT berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya…” (Al A’raaf :3)
Mafhum Mukhalafah (pengertian kebalikan) dari ayat di atas adalah, janganlah kita mengikuti apa yang tidak diturunkan Allah, termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas kita, sebab semuanya bukan termasuk apa yang diturunkan Allah.
Allah SWT juga telah berfirman :
“Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia…” (Al Hasyr : 7)
Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah, janganlah kita mengambil apa saja (pandangan hidup) yang tidak berasal dari Rasul, termasuk ide Pragmatisme. Ide ini tidak berasal dari Muhammad Rasulullah saw, tetapi dari orang-orang kafir yang berasal dari Eropa dan Ameri¬ka.
Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan dengan Islam. Sebab ukuran perbuatan dalam Islam adalah perintah dan larangan Allah, bukan manfaat riil suatu ide untuk memenuhi kebu¬tuhan manusia.
Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan. Islam terbukti telah memperhatikan aspek kemanfaatan, seperti misalnya sabda Rasulullah saw :
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HSR. Muslim)
Benar, Islam memang memperhatikan kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang telah dibenarkan oleh syara’, bukan kemanfaatan secara mutlak tanpa distandarisasi lebih dulu oleh syara’. Hal ini karena nash-nash yang berhubungan dengan manfaat tidak dapat dipahami secara terpisah dari nash-nash lain yang menegaskan aspek halal haram. Maka, kemanfaatan yang diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang dibenarkan oleh syara’, bukan sembar¬ang manfaat.
Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar perbuatan adalah syara’, dan bukan manfaat, maka hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan aspek kemanfaatan. Tetapi maknanya adalah, manfaat itu bukan standar kebenaran untuk ide atau perbuatan manusia. Sedang kemanfaatan yang dibenarkan Islam, yakni yang telah diukur dan ditakar dengan standar halal haram, maka itu adalah manfaat yang yang dapat diambil oleh manusia sesuai kehendaknya.
5.Penutup : Dekonstruksi Pragmatisme, Suatu Kewajiban
Pragmatisme adalah ide batil dan ide kufur yang sangat mungkar, karena ide tersebut dibangun di atas landasan ideologi yang kufur, dihasilkan dengan metode berpikir yang tidak tepat, serta mengandung kerancuan dan kekacauan pada dirinya sendiri.
Oleh karena itu, karena Pragmatisme adalah suatu kemungkaran, maka seorang muslim wajib menghancurkan dan membuang Pragmatisme dengan sekuat tenaga serta melawan siapa saja yang hendak menyesatkan umat dengan menjajakan ide hina dan berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam yang sedang berjalan menuju kepada kebangkitannya. [ ]
- - - - - - - - -
*Makalah disampaikan dalam Halaqah Syahriyah (Kajian Bulanan) Hizbut Tahrir, di Bogor, bulan Agustus 1995.
**Syabab (Aktivis) Hizbut Tahrir.

roni_justicia

Kamis, Januari 22, 2009

KIAT-KIAT SUKSES

KIAT - KIAT SUKSES.



Untuk mencapai kesuksesan pasti diperlukan ketekunan, kesetiaan dan pantang menyerah. Tidak ada kesuksesan diraih dengan singkat. Semua sukses pasti melalui proses yang terus menerus dan perlu waktu. Jika dari awal sudah setia pasti akan timbul komitmen pada diri sendiri untuk maju dan berhasil. Tidak akan menyerah sebelum keberhasilan itu tercapai. Apa yang harus diperhatikan ?



BERKEYAKINAN KUAT.

Mantapkan keyakinan anda dengan baik sebelum melakukan sesuatu, jika anda sudah yakin akan berhasil...Ya pasti berhasil.



ANTUSIASME.

Jalankan suatu usaha dengan antusias dan percaya diri, ini penting sekali karena menjalankan usaha pasti banyak cobaan, anda perlu ketangguhan. Cobaan bisa berarti anda merasa bimbang dan ragu, tidak tahan dan ingin menghentikan usaha tersebut. Memiliki keteguhan hati, keberanian, daya juang, keyakinan dan ketabahan. Dengan antusiasme anda bisa membangun sebuah bisnis yang kukuh dan kuat.



MANFAATKAN POTENSI ANDA SEPENUHNYA.

Tidak akan pernah ada orang mencapai sukses dengan prinsip setengah - setengah, mereka pasti menjalankan bisnis sepenuhnya. Gunakan waktu, tenaga dan pikiran, modal, kreatifitas sepenuhnya untuk mencapai target anda. Jauhi hal - hal yang bertentangan dengan prinsip kesuksesan usaha anda. Hasil yang anda dapatkan sebanding dengan apa yang anda usahakan. Jangan sampai kecewa, karena anda tidak menjalankan bisnis sepenuhnya.





BERTINDAK PROAKTIF.

Jika anda memasuki suatu usaha baru, berarti anda memasuki dunia yang penuh dengan petualangan, menantang dan situasi yang dinamis. Untuk menghadapinya anda harus bertindak proaktif. Orang pro aktif adalah orang yang tidak bisa menunggu, tidak mau ketinggalan, selalu ingin menjadi yang terdepan , berani mengambil inisiatif sebelum orang lain memulainnya, bahkan ketika orang lain belum memikirkannya. Prinsipnya adalah tidak ada peluang yang kedua, jika anda gagal merebut sebuah peluang, maka anda kehilangan peluang itu.



ISI WAKTU DENGAN AKTIFITAS TERBAIK.

Time is money, atau biarkan waktu yang menyelesaikannya. Sebegitu penting sekali hingga uang atau hal yang bisa menyelesaikan masalah ? Sebagai anugerah tuhan, waktu berlaku sama dan bisa digunakan sesuai dengan kemauan manusia, namun waktu tidak bisa kita beli atau tabung. Now or Never ! kita bisa manfaatkan waktu saat ini atau kehilangan sama sekali. Untuk menjadi pemenang dalam kehidupan yang sarat dengan persaingan, kita harus cakap dan pandai memanfaatkan dengan maksimal dalam seluruh aktifitas. Sudah efektifkah penggunaan waktu kita ?

Kembali ke artikel





Master@styosep.com http://www.w4n2000.s5.com

Arwanda Ginting Suka


roni_justicia

Rabu, Januari 21, 2009

All About Keris


ORIGIN OF THE KERIS AND ITS DEVELOPMENTTO THE 14TH CENTURY
A paper which sets forth evidence to be found in the monuments of Central and East Java as the basis for a commentary upon the origin and development of a traditional Javanese weapon.
by A.G. MAISEY
Abstract
The modern keris has existed since at least the mid 14th Century. It developed in East Java from an earlier form known in Java as the keris buda. The keris buda was preceded by and, coexisted with, a Javanese dagger with a leaf shaped blade which resembled the leaf shaped blades of Indian swords.
The period during which the keris buda, and its immediate predecessor, came into being was the Early Classical Period (end 7th Century to end 9th Century). This period of Javanese history was heavily influenced by Indian culture and ideas. The evidence, although incomplete, points to the keris being a descendant of the line of weaponry which embraces the leaf shaped blades of India, and proposed by Rawson as " ...a common Aryan heritage of the Indo Aryan peoples".
Note: In this paper keris buda, pre-modern keris and Prambanan II have the same meaning, and modern keris and keris have the same meaning.
Description
The keris is a South East Asian dagger.
Typically the blade of a keris is of asymmetric form, with the blade wider on one side than on the other. The blade can be either straight or with an uneven number of waves, is usually about 12" to 15" long, and is sharpened on both edges. The surface of the blade frequently bears a pattern, produced during the forging process, and made visible by etching, which is known as pamor.
The foregoing blade description relates to the modern keris, which dates from at least the 14th Century. Some keris do deviate from this description, however, for the purposes of this paper, these deviations are not material.
Origin
A number of theories have been put forward to explain the origin of the keris (Hill). These range from adaptation of a broken spear, to development from the sting of the stingray. Javanese and Malay traditions attribute origin to legendary figures. An examination of these theories would use much time and space and would contribute little. Suffice to say that when viewed against evidence available in the country of origin of the keris, Java, these theories are difficult to support or accept.
Solyom states: "We may only speculate about how and when the keris and its manner of use evolved." He then goes on to mention an early form of keris known in Java as keris buda, which the Javanese attribute to the Central Javanese Hindu Buddhist era (c. 700 A.D. to c. 900 A.D.). He comments further: "Apparently no reliable dating has been obtained for them."
Examination of monumental evidence in Java demonstrates that the keris buda did indeed exist during the Central Javanese period. The same sites where representations of the keris buda can be found, contain representations of another very similar dagger which can reasonably be considered to be the direct predecessor of the keris buda. The form of this predecessor is very similar to the leaf shaped blades identified by Rawson as one of the two chief forms of Indian sword blades. Considered in the time and cultural frame work of the Central Javanese period this would seem to indicate the influence of post-Gupta culture on this weapon design. These blade forms are leaf shaped, waisted and with a splayed base. Rawson states that, along with a second Indian blade form, "Both these blade forms are consistently represented in Greek vase paintings from antiquity, so it is very probable that they are a common Aryan heritage of the Indo-Aryan peoples."
Another point of similarity with Indian weapon design is in the pommels shown on the swords and daggers of the Central Javanese period. On the swords, these are the common Indian round disc, surmounted by a small dome. On some of the daggers, this disc has become an oblong shape (Harsrinuksmo, p.19), an alteration which would facilitate a waist level, vertical carry.
Central Javanese Period (Early Classical)
It is generally accepted that there had been Indian contact with Java from about the second century A.D. (Coedes). By the early 8th Century, the Shailendras, a Buddhist dynasty, had established themselves as rulers in Central Java. Between 775 A.D. and 864 A.D., during the reign of King Samaratunga, the great Buddhist monument of Borobudur was completed, and was probably consecrated in 824 A.D. (de Casparis). Not long after this, early in the 10th Century, the temple complex of Lara Jonggrang was completed.
The Lara Jonggrang complex is situated near the village of Prambanan, not far from Jogjakarta in Central Java. Because of its siting it is often referred to as Candi Prambanan (Prambanan temple). This is a Hindu temple devoted to the worship of Shiva.
Both Borobudur and Prambanan are examples of Indian art and architectural influence in Java. The architecture of Borobudur is influenced by Indian Gupta and post-Gupta styles (Britannica), and the art and architecture of Prambanan is a synthesis of northern and southern Indian styles (Kempers). The reliefs at both these monuments, although influenced by Indian culture, do not show Indian settings, but place the stories related by the reliefs in a Javanese context.


Borobudur
Harsrinuksmo reports a short weapon, similar to a keris, portrayed in the reliefs of the Buddhist monument of Borobudur. I have searched these reliefs several times in an effort to locate this representation, but to date, I have had no success. A number of other weapon types are shown, however, nothing remotely similar to a keris has been identified.
Candi Prambanan (Lara Jonggrang)
1. Prambanan I. A monkey warrior holding a Prambanan I style dagger. The leaf shaped blade is the great grandfather of the modern keris. Located at Candi Shiva, Prambanan Temple Complex, Central Java.
The temple complex at Prambanan consists of the central temple of Shiva, flanked by the temple of Brahma (south) and Visnu (north), and 5 smaller temples. On the inside of the balcony wall of Candi Shiva, and continued on the balcony wall of Candi Brahma, the story of the Ramayana is carved in relief. The relief carvings of Candi Shiva contain at least three representations of weapons, which I shall refer to as "Prambanan I", that I consider to be forerunners of the keris buda. These weapons are daggers with leaf shaped blades, splayed blade base, and with a separate piece fitted to the blade base, as is the gonjo on a modern keris blade. All are fitted with heavy pommels, topped by a dome, in the Indian fashion, and are held in a manner which dictates an overarm stab, rather than a thrust.
2. Above: Prambanan II. Laksmana holding a Prambanan II style dagger. All essential features of a keris are present, and the blade form is what is now known as 'keris buda'. The handle, with its heavy pommel, is designed for use with an overarm stab. Located at Candi Shiva, Prambanan Temple Complex, Central Java.3. Right: Prambanan II. Close-up of the dagger held by Laksmana in the photograph above.
The relief carving of panel No. 4, second scene, depicts Rama and Laksmana killing the giants which are threatening Wismamitra's hermitage (Moertjipto, Drs.). The dagger shown in this relief bears an asymmetric base, defined gonjo, kusen, and odo-odo; all features of a keris. I consider that this dagger, which I shall refer to as "Prambanan II", is a representation of a keris buda.
Candi Visnu carries a representation of at least one dagger similar to Prambanan I in its relief carvings.
All the daggers mentioned above are short, broad, and heavy, and of the same proportions as a keris buda. They display a leaf shaped blade, with greater or lesser waist definition, a distinct central ridge, and splayed blade base. Representations of swords found in the same reliefs also carry leaf shaped blades, however, of a form more suited to the cut, than to the thrust. Many are similar to Rawson's Harasnath khanda, but I am not suggesting a link here, because of the time difference. It is, however, interesting to note the existence of a form similar to the Harasnath khanda, in Central Java in the 9th Century, when Rawson places this form in the 11th Century in India. Was this a separate Javanese development from the same root, or did the Harasnath form exist prior to the 11th Century?
The generally accepted date for completion of the Prambanan complex is early 10th Century, however, evidence does exist in the form of an inscription, dated to the year 856, which implies that this temple complex already existed in that year (R. Soekmono, in Fontein, p. 78).
East Javanese Period (Late Classical)
In the late 10th or early 11th Century, the centre of Javanese cultural and political life shifted to the East. The first king after the shift of the court from Central to East Java is known to be King Sindok. He is mentioned in several inscriptions, the earliest dating from 919. He claimed descent from the dynasty of Mataram, which ruled in Central Java following the failure of the Shailendras in about 870 (Vlekke).
We know little of East Java in the period from the arrival of Sindok up until the establishment of the kingdom of Majapahit in 1292. Sindok ruled over the kingdom of Kadiri, which was destroyed around the year 1000. Airlangga reunified East Java, and then divided his kingdom between his two sons. Almost nothing is known of this period. In 1222 the kingdom of Singosari arose, followed by Majapahit in 1292. Vlekke suggests that the constant change in the centre of power during this period of Java's history indicates the existence of a number of small principalities in more or less permanent competition with each other. If this was the case, the resulting political instability probably generated unrest and a less than peaceful social environment. History tells us that in such a social environment, the members of that society customarily carry arms as they go about their daily business.
From this late classical period there are further examples of the evolution of the keris. An 11th Century East Javanese carving (Fontein, plate 19), shows a demon grasping a weapon with two blades, both of which display the same short, broad, heavy form with waisted blade, splayed base and heavy central ridge, as found in the Prambanan I dagger. However, in this East Javanese example, the blade features are more accentuated than in the Prambanan examples.
Candi Singosari (c. 1300), located not far from present day Malang, provides an example of gandik and gonjo, albeit, not on a keris. These features, which are now accepted as being typical of the keris, are found on a dagger with a jambiya shaped blade and bearing a domed, disc shaped pommel (Fontein, plate 25).Fontein also presents a 14th Century East Javanese finial, which shows a man holding a keris of modern proportions. This keris is held in the rapier like fashion of the modern keris.
In the Museum Mpu Tantular, in Surabaya, can be found a stone carving of Durga originating from Candi Jawi (14th Century). In one hand Durga grasps a dagger very similar to the Prambanan II dagger, however, the form is considerably more refined, being of a lighter construction than Prambanan II, and fitted with a waved gonjo. This dagger is held in a manner which dictates a thrust, rather than an overarm blow.
4. Prambanan I after the move to East Java. Hanoman, The Monkey King, shown using an elongated version of the Prambanan I style of dagger. Located at Candi Panataran, East Java.
Candi Panataran
Candi Panataran is located near Blitar, and is the largest temple complex in East Java. Its existence covers the period from 1197 to 1454 (Kempers), and it is a Javanese Hindu complex. The main temple at Panataran dates from 1347 (Kempers), and its base carries reliefs telling the story of the Ramayana.
There are many representations of weapons in these reliefs, and swords, spears and daggers bearing blades similar to those found in the reliefs of Prambanan can be identified. Included in these representations of 14th Century Javanese weaponry is a relief of Hanoman using a dagger with many of the features of Prambanan I, and using it as an overarm stabbing weapon. However, in the Panataran relief, this dagger has become a little longer and proportionately thinner.
5. Prambanan II style blade, but the handle is without the heavy pommel, thus permitting the weapon to be used to thrust, rather than with an overarm stab. This is the first monumental appearance of the keris as a thrusting weapon, and is located at Candi Panataran, East Java.
There are several representations of keris in the Panataran reliefs. Two of these representations are particularly interesting in that one shows clearly the manner of use; and the other the way in which the keris was worn. These keris are still represented as short and broad, however, the relief which depicts use shows that the grip has changed from an overarm stabbing grip to a grip which will allow a rapier thrust. Moreover, the relief showing the way in which a keris was worn demonstrates that the heavy pommel of Prambanan II has disappeared.
Transition
Examination of physical specimens of pre-modern keris and of early examples of modern keris, shows that on some pre-modern keris, a line drawn through the centre of the blade deviates from a line drawn through the centre of the tang by 3°, on other pre-modern keris, this deviation is 8.5° to 9°, and on the modern keris the deviation varies from 8° to 12.5°. The smaller angle of deviation found on some pre-modern keris, and resulting in a blade with a straighter presentation, is consistent with a weapon used to stab overarm, whilst the wider angle of deviation found on other pre-modern keris, and on all modern keris, is consistent with the thrusting style of use of the modern keris. The existence of two distinct angles of deviation in pre-modern keris would seem to indicate that even before the appearance of the modern keris, its immediate predecessor was being used to thrust, as well as to stab.
Further evidence that the keris buda was used as, and developed from a weapon used with an overarm stabbing action, is to be found in the tang. The tang of the keris buda is of square section. Such a tang was necessary to prevent the blade from turning in the handle, something very undesirable in a weapon used with a powerful overarm, downwards stabbing action. Conversely, the tang of the modern keris is round, which allows adjustment of the orientation of the blade to the grip, to suit the individual user, a desirable feature of the keris used as a thrusting weapon, which is unimportant where the weapon is used overarm.
Conclusion
In the period from at least 900 A.D. to circa 1300 A.D. stabbing weapons with leaf shaped, waisted, splayed base blades, similar in shape and mounting to Indian leaf shaped blades, were an established form of Central and East Javanese weaponry. The existence of a variation of this weapon, similar in all respects, except for the shortening of one side of the splayed base, is substantiated by representations of this weapon in relief carvings on monuments in Central and East Java, dating from 10th to 14th Centuries.
It is an established fact that Indian culture and ideas were a major factor in the development of Javanese culture from at least the 8th Century.
The existence in Java of a weapon bearing similar blade shape and mounting to a major Indian style indicates that the design of the Javanese weapon was generated by the Indian design.
1 A keris buda from the period 11th to 13th Century. No pamor is in evidence, and the laminated construction technique has not yet appeared.2 A late keris buda. The blade is of early form, but laminated construction was used, and pamor is in evidence. This keris was probably made after the mid 14th Century, as a copy of an earlier piece.3 Transitional form of keris. In this blade the emergence of the modern keris has begun. Some features of the keris buda are still in evidence, such as the square tang, high gandik, and broad gonjo. However, the tang, although still essentially square has a slight radius on its front and back, and the blade has lengthened, and become lighter. Close examination reveals residual traces of black iron with what appears to be an inclusion of nickelous material. The bulk of the blade material is heavily grained iron or steel, and as it retains much of its original form, indicates that the laminated outer skin would have been very thin. This blade appears to be an early attempt at laminated construction, and probably dates from 13th to 14th Century East Java.4 A modern keris made in 1987, the blade executed in the Central Javanese Surakarta style.
The variation of this dagger with one side of the splayed base shortened, resulting in an asymmetric blade base, does not exist in Indian weaponry. This weapon with leaf shaped blade and asymmetric base is original to Java and marks the commencement of the development of the keris. This weapon is known as the "keris buda".
In Central Java the keris buda was used primarily, perhaps solely, in an overarm stabbing action. In East Java, during the period from circa 1000 A.D. to circa 1300 A.D., the keris buda underwent changes which resulted in it becoming a longer, lighter, thinner weapon, used to thrust, rather than with an overarm action. These changes saw the appearance of the modern keris.
Reasons for Change
The development of the keris buda from Prambanan I, and the modern keris from the keris buda can be supported with evidence, and accepted with reasonable confidence. However, the reasons for this development are pure hypothesis. Nonetheless, I would like to present the following for your consideration.
As a rule form follows function. The Prambanan dagger which eventually developed into the modern keris was a personal weapon. If we can judge by later historical records of the society in which this dagger was found, such personal weapons were carried constantly (Groeneveldt). The mode of dress adopted in Java would make carrying a dagger of the size and design of the Prambanan dagger quite inconvenient. The manner in which such a dagger was carried can be seen on a statue to be found in the north alun-alun of the Surakarta Kraton (Harsrinuksmo, p. 19).
I submit that loss of the heavy pommel and refinement of the blade form of the Prambanan daggers, were changes made to permit more convenient wear of the dagger for someone in the everyday dress of a sarung. When the pommel disappeared, and the blade became lighter, the weapon became more suitable for use with a rapier grip, than with an overarm action. As a rapier, the blade became longer, and consequently thinner; for it to have remained the same width and thickness would have made it too slow for effective use as a thrusting weapon. As a thrusting weapon, the necessity for a symmetrically splayed blade base, acting as a cushion for the side of the hand, lessened, thus the blade base became asymmetric, its function now simply to support the first joint of the index finger.
Actually, the blade had already become asymmetric prior to any modification along the lines outlined above. Witness Prambanan II, the keris buda. The reason for this earlier adoption of asymmetric form can possibly be explained by the grip used with the keris buda. The shortened side of the blade base supports the fingers, the longer side, the side of the hand. With the use of this grip it is obvious that a projection in front of the fingers is unnecessary, and in some circumstances could cause inconvenience.
The political unrest of the late classical period, prior to Majapahit, is also a possible factor in the development of the modern keris from the keris buda. In such times a light, fast, thrusting weapon would tend to be more useful than a weapon used with a slower overarm stabbing action. The lighter weight, and greater convenience of carry of the modern keris would have tended to see this longer, lighter, faster version of the Javanese personal dagger, favoured over the heavier, slower keris buda. Particularly so if the social environment was unsettled, and it was considered desirable to always have a means of defence at hand.
However, without technological advancement in forge processes, this development of a longer, lighter, faster, more convenient weapon for personal use, may not have been able to be achieved. Most keris buda do not carry pamor. "They are plain iron..." (Solyom). Conversely one of the distinctive features of the modern keris is its pamor. Weapons constructed with pamor are essentially a sandwich; a core which forms the cutting edge, supported by a laminated plate on either side. This form of blade construction provides much more strength for equal cross section than does a blade of homogenous construction. I believe it is probable that weapons of pamor construction made their appearance in East Java, during the same period which saw the modern keris developed, that is, the three hundred years between 1000 A.D. and 1300 A.D. It is possible that proximity to the north coast, and consequent contact with traders from Persia and the Indian sub-continent played some part in the technological advancement of forge processes, which saw the introduction of blades of pamor construction.
The decrease in width of the blade caused a deterioration in the capacity of the weapon to cause haemorrhage. In an effort to compensate for this shortcoming a waved form of blade came into being. This waving of the blade had the additional advantage of allowing it to be more easily withdrawn from a wound. The development of the distinctive features of sogokan, kembang kacang and greneng were probably attempts to divert blood from the grip.
These changes had already taken place by the mid 14th Century.
Summary
The modern keris has existed since at least the mid 14th Century. It originated in East Java and was a development of the keris buda, which was a transitional form of an earlier dagger. The development was occasioned by the custom of habitually carrying a dagger as a personal weapon, and the mode of dress.
Bibliography
Britannica Encyclopedia, 15th Edition, 1983.
Casparis de, J.G., quoted in Forman.
Coedes, G., The Indianised States of South East Asia.
Fontein, Jan, The Sculpture of Indonesia.
Forman, B., Borobudur.
Groeneveldt, W.P., Historical notes on Indonesia and Malaya compiled from Chinese sources.
Harsrinuksmo, Bambang, Ensiklopedi Budaya Nasional.
Hill, A.H. (M.A., D, Phil) The Keris and Other Malay Weapons, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 29, Part 4, No. 176.
Kempers, A.J. Bernet, Ancient Indonesian Art.
Moertjipto, Drs., Prasetyo, Drs., B., Kusumo, Drs., I.D., Darmoyo. The Ramayana Reliefs of Prambanan.
Rawson, P.S., The Indian Sword.
Soekmono, R., in Fontein.
Solyom, Garrett and Bronwyn, The World of the Javanese Keris.
Vlekke, Bernard H.M. Nusantara.
Copyright © 1998 by A. G. Maisey. All rights reserved. Country of first publication: AustraliaThis paper or any part of thereof may not be copied or reproduced in any form without the express written consent of the author.This paper previously appeared in Arms Cavalcade, Official Journal of the Antique Arms Collectors Society of Australia Co-op Limited, Vol. 1, No. 2 (April 1998), pp. 8 - 11 and 23.This html edition was prepared by Lee A. Jones and is presented on the Ethnographic Edged Weapons Resource Site with the permission of the author. Version 1.0 ~ 10 March 2001

roni_justicia

tips dan trik google adsense

Berikut 10 Tips & Trik Google Adsense bagi pemula:
  1. Buat yg belum apply Google Adsense (GA) atau sering ditolak apply di adsense, mungkin bisa memulai dengan membuat Blog berbahasa Inggris di www.blogger.com - Update setidaknya 1 - 2 Minggu kalau dah OK baru apply GA. Langkah ini kemungkinan berhasil 90% dengan catatan situs anda bukan situs illegal (hacker, porno, download crack) dan sejenisnya serta situs juga harus sering di-update.
  2. Sebaiknya situs anda ber-bahasa Inggris kalau Indonesia atau campuran biasanya akan jarang keluar text-ads-nya Google, yg keluar 99% iklan layanan (bisa diakalin tapi melanggar TOS - Terms of servises) kecuali situs anda sudah tahunan (lebih dari 1 - 2 tahun) baru keluar iklan bahasa Indo kalau yg campuran kadang-kadang bisa Indo dan juga bisa Inggris dan kadang-kadang bisa keluar "iklan layanan"
  3. Jgn sekali-kali anda mencurangin Google karena cepat atau lambat anda pasti ketahuan, baca TOS dahulu karena tiap 3 - 6 bulan sekali pasti ada ketentuan baru yg makin hari saya lihat makin rumit... 90% yg punya GA pasti pernah melakukan kecurangan baik di sengaja ataupun tdk, yg paling sering curang pasti akan di ban, kl yang jarang paling diperingatin terlebih dahulu
  4. Bagi yg ingin meningkatkan traffic situsnya secara gratis bisa memakai cara:- Daftar di semua situs search engine terutama Google, Yahoo dan MSN (lakukan tiap 2 Minggu)- Tukeran link / banner dgn sesama situs- Kirim e-mail ke yg kenal-kenal saja (jangan spam) atau cantumkan signature di e-mail anda- Pakai signature situs anda ketika posting di forum - Mailing list kadang-kadang bisa membantu (jangan spam juga)- Update situs dan buat semenarik dan se-informatif mungkin sehingga menarik minat utk yg masuk- Lakukan cara apapun asal jangan SPAM & tdk melanggar TOS GA
  5. Cara lainnya anda mesti bayar dgn memasang banner di situs lain, yang anda rasa sesuai dengan apa yang anda promosikan atau pasang adword dgn Google. Jangan sekali-kali bayar situs yg menjanjikan trafik ribuan pengunjung karena sifatnya hanya sementara dan dilarang oleh GA
  6. Jangan anda melakukan spam di manapun utk promosi situs karena saya sendiri jg benci spam dan yg spam biasanya reputasi situsnya akan jelek walau trafik meningkat sebentar tp utk jangka panjang akan berefek tidak baik dan situs anda akan di "blacklist". Jangan jadi orang yang menyebalkan karena netter Indo sudah banyak di cap dgn reputasi buruk di internet sebagai netter yg suka hacker, bajak hak cipta, nipu bangsa sendiri dan yg terakhir mulai suka SPAM
  7. Anda bisa affiliate dgn clickbank, amazon atau yg lainnya utk nambah penghasilan situs anda. Posisi penempatan iklan yang tepat, tampilan situs dan berita yang sering di-update juga bisa menjadikan keuntungan tersendiri buat anda
  8. Sebaiknya situs anda mempunyai akhiran .com .net karena kalau cuma blogspot dari Google akan sangat banyak saingan utk saat ini dan jarang masuk ranking top ten kecuali anda menemukan kata-kata yg unik untuk itu atau situs anda sangat informatif dan berita yg diberikan situs anda bermanfaat bagi banyak orang. Kalaupun demikian butuh waktu lama utk bisa di posisi atas kecuali anda iklankan situs anda
  9. Anda sebaiknya harus punya hobi menulis artikel karena kalau tidak situs anda hanya berisi informasi yg diambil dari situs orang lain dan rating anda akan lamban naiknya kalaupun anda ambil dari situs org lain dan terus anda edit dan perbagus, harap cantumin sumber dari berita anda karena ini adalah kode etik jurnalis. Artikel saya saja di internet juga sering dibajak orang tanpa mencamtumkan sumbernya dr mana. Belajarlah berbagi dan saling menghargai sesama netter, kalau anda termasuk orang yang suka membajak, yah mohon dikurangi dan lama-lama dihilangkan...
  10. Hal terakhir yg paling penting adalah "jangan pernah menyerah" karena semua orang dan saya juga memulai dari nol. Segala sesuatu selalu ada permulaannya. Belajar, belajar dan belajar adalah kunci utama kalau mau sukses di bidang ini dan saya juga masih melakukannya hingga hari inironi_justicia

cari tas etnik yang bagus dan murah??

kami menyediakan tas etnik yang terbuat dari bahan-bahan alami yang ramah lingkungan, seperti enceng dondok, agel, mendong, dan lain..
silahkan kunjungi blog kami..
makasih